Header Ads

KHILAFAH DAN KEBHINEKAAN

Oleh : *Ust Choirul Anam*
Diantara isu paling panas berkaitan dengan Khilafah adalah masalah kebhinekaan. Diopinikan oleh banyak pihak bahwa Khilafah akan memaksa semua hal menjadi sama dan seragam sehingga kebhinekaan akan hilang. Bahkan diimajinasikan bahwa Khilafah akan memaksakan kehendak dengan kekerasan dan intimidasi. Padahal realitanya sama sekali tidak demikian. Pernyataan bahwa Khilafah akan memberangus kebhinekaan hanya merupakan opini yang tidak ada landasannya sama sekali.
*****
Perbedaan adalah sunnatullah, sesuatu yang tak dapat dihindari. Bahwa masyarakat itu terdiri dari berbagai agama, suku, adat, bangsa, kebiasaan, dan lain sebagainya, merupakan fakta yang harus diterima. Dalam satu agama juga terdapat berbagai madzahab dan aliran sebagai konsekuensi dari perbedaan latar belakang, pengalaman, dan pemahaman. Hal ini merupakan qodlo Allah. Islam justru datang untuk mengatur dan membingkai perbedaan dan kebhinekaan itu, sehinga kebhinekaan dan perbedaan menjadi warna-warni indah. Perbedaan itu dibingkai oleh syariah dan Khilafah sehingga perbedaan menjadi rahmah, sementara itu perbedaan yang mengarah kepada perpecahan dan permusuhan dijauhkan sejauh-jauhnya.

Dalam sejarahnya yang panjang, Khilafah dan syariah Islam telah membingkai kebhinekaan manusia yang hidup dengan berbagai bangsa dan berbagai corak etnis. Penerapan syariah pada masyarakat yang multi kultur dan etnis, justru akan menciptakan keadilan dan keharmonisan, dalam arti yang sebenarnya.
Realitanya, kebhinekaan masyarakat pasti butuh aturan yang menyatukan mereka, yaitu dalam urusan publik. Nah, dalam hal ini, Khilafah memang menggunakan syariah Allah. Allah adalah dzat yang Maha Tahu hakikat hambaNya. Allah sangat tahu, bahwa hamba-hambaNya sangat beragam dan berbeda-beda, ada yang muslim tapi ada juga yang non muslim. Semua manusia sama dalam pandangan-Nya. Yang mulai hanyalah yang paling taqwa (hatinya dan perbuatanya tidak semena-mena dan sesuka-sukanya, tetapi ditundukkan hanya mengikuti Allah swt).
Syariah Allah ada dimensi privat dan ada dimensi publik. Dalam dimensi privat seperti aqidah dan ibadah mahdoh, syariah Islam hanya akan mewajibkan pada umat Islam saja. Non muslim tidak akan dipaksa untuk menganut Islam. Allah berfirman yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqoroh 256). Non muslim bebas memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya.
Sementara dalam urusan publik, syariah Islam mengatur masyarakat secara adil seluruh masyarakat, tanpa memandang agama dan kepercayaannya. Hukum ditegakkan dengan tegas. Misalnya, hukum potong tangan diterapkan kepada pencuri, pertanyaan pencuri yang beragama apa? Jawabannya adalah kepada semua pencuri, tanpa melihat agamanya. Jika hal ini diterapkan, maka pencuri dapat diminimalisasi dan masyarakat jadi aman. Pertanyaannya: siapa yang aman? Jawabnya: adalah semua masyarakat, baik muslim atau non muslim.
Dalam hukum publik Islam, dalam transaksi ekonomi, riba dilarang? Pertanyaan: siapa yang dilarang? Jawab: semua masyarakat, tanpa melihat agamanya. Dengan larangan riba ini, ekonomi menjadi sehat dan kesejahteraan dapat tercapai. Pertanyaan berikutnya: siapa yang sejahtera? Jawab: ya semua rakyat, tanpa melihat agamanya. Dan lain sebagainya. Tentu saja, bagi warga yang muslim bernilai ibadah dan mendapat pahala di akhirat, sementara warga yang non muslim hanya mendapat kebaikan di dunia saja.
Selama beratur-ratus tahun, khilafah diterapkan pada masyarakat yang plural dan terus menjaga kebhinekaan itu. Bahkan ketika Rasul menegakkan daulah Islam pertama di Madinah, saat itu masyarakat juga plural dan berbeda-beda. Di sana ada orang Islam, ada orang yahudi, ada orang musyrik. Namun, keaneka-ragaman agama dan keyakinan, tidak jadi masalah. Dan saat syariah diterapkan dalam bingkai khilafah, pluralitas masyarakat dapat hidup dengan damai dan adil, sementara kebhinekaan menjadi mozaik yang sangat indah..
T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.
Arnold kemudian menjelaskan; “Perlakuan pada warga Kristen oleh Khilafah Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
*****
Jadi penerapan syariah dan Khilafah sama sekali tidak akan memberangus kebhinekaan yang memang fitrah terjadi di masyarakat. Meski masyarakat berbhineka, syariah dan Khilafah tetap menyatukan mereka menjadi peradaban yang agung selama beratus-ratus tahun.
Inilah fakta historis yang banyak disembunyikan pihak tertentu. Meski memang harus diakui, bahwa pelaksana syariah dalam sistem Khilafah adalah manusia biasa, yang bisa jadi melakukan kesalahan. Tidak dipungkiri, di sebagian sejarah Islam yang panjang, ada masa-masa dimana pemimpin dan pihak berkuasan tidak melaksanaan syarah Islam dengan baik, salah satunya dengan memaksakan kehendak dan berlaku dzalim terhadap warga negara. Namun, hal itu bukan hanya ada di Khilafah, di negara yang menganut sistem demokrasi kedzaliman dan pemaksaan pendapat juga sering terjadi, bahkan sangat sering terjadi.
Diakui isu ini merupakan isu yang sangat seksi yang sering dimanfaatkan pihak tertentu untuk mendzalimi kelompok lain atau hanya untuk memuluskan kepentingan pribadinya. Orang yang benar-benar paham kebhinekaan, akan legowo menerima perbedaan, setajam apapun perbedaan itu. Sebaliknya, orang yang memaksakan pendapat, mengancam orang lain yang berbeda pandangan, membubarkan acaranya dengan paksaan, mengintimidasi dengan tuduhan-tuhan yang tidak ada dasarnya (seperti makar, anti kebhinekaan, dll), padahal pihak yang dituduh tidak melakukan pelanggaran hukum apapun, justru merupakan pencideraan yang sebenarnya terhadap kebhinekaan.
Mari kita wujudkan kebhinekaan yang sebenarnya dalam kehidupan, bukan hanya meneriakkan slogan kebhinekaan, tetapi berusaha menghancurkan kebhineaan dan berusaha menang sendiri.
Realitasnya, di masyarakat, tidak dipungkiri, memang ada oknum tertentu, jika sudah meneriakkan kebhinekaan, seakan absah baginya untuk menciderai kebhinekaan dan melanggar hak-hak pihak yang lain. Itu hanya oknum, bukan mewakili organisasi atau kelompok tertentu. Ini adalah PR kita bersama sebagai masyarakat, apalagi sebagai umat Islam. Namun bagaimanapun, penyikapan perbedaan secara dewasa tetap harus diusahakan. Kita berharap kejadian akhir-akhir ini hanya kesalah-pahaman. Kita yakin seyakin-yakinnya bahwa di Indonesia ini, negeri yang sangat kita cintai ini, banyak orang dewasa, yang siap berbeda dan berbhineka dalam arti yang sebenarnya, meski mungkin memiliki perbedaan yang cukup tajam.
Wallahu a’lam.

No comments

Powered by Blogger.