Header Ads

Roman Hattin bag 1

Kisah kecamuk perang Hattin yang menentukan
direbutnya kembali Palestina oleh Shalahuddin al Ayubi.

[Djenderal 4 Arwah]

Aku ingin melayani tuhan Yesus Kristus. Hal itulah yang membuatku berada di sini hari ini. Di sisi Karang Tanduk Hittin. Aku tegak kepada langit, setelah Tuhan sendiri memberi aku kehidupan sebagai manusia yang sesungguhnya.
Namaku Phillipe. Aku hanya seorang petani miskin dari Chatillon yang berharap memasuki Kerajaan Sorga. Setiap hari aku berdoa dan menjalani Pengakuan. Tidak ada lagi kedamaian dan keadilan kurasakan. Tetangga-tetanggaku dan termasuk aku menderita karena pajak tinggi. Penjualan hasil panen tidak berguna karena harga sangat murah. Maka aku sambut seruan Uskup Rene yang datang ke rumahku membawa pesan dari Paus Agung. Tuhan telah memerintahkan prajurit-prajurit Kristus untuk mempertahankan Tanah Suci dari tangan Saracen yang barbar itu. Sebab mereka membunuhi dan mengganggu Misa umat Kristus. Tuhan telah menjanjikan pengampunan, Kerajaan Sorga dan harta yang melimpah bagi mereka yang mau menjadi Prajurit Kristus. Sungguh manis janji tuhan kepada Paus yang disampaikan Uskupnya kepadaku.
Kutinggalkan ayah dan ibuku. Aku bergabung dengan pasukan yang dipimpin Reynald de Chatillon. Kami berangkat ke Palestina untuk bergabung dengan Raja Baldwin yang memimpin Takhta Suci Jerussalem. Menjaga tanah suci tempat kelahiran tuhan Yesus yang telah direbut oleh Godfroi de Boullion dari tangan kaum Saracen. Dan lebih dari segalanya yang aku mau adalah Kerajaan Sorga.


[[]]

Aku sedang berpatroli di sekitar Karak pagi itu. Tak jauh dari tempatku berpatroli, Benteng Karak berdiri kokoh. Di sisinya bukit batu dan hamparan padang rumput hijau. Langit masih biru, matahari belum datang untuk mewarnai dengan kuas emasnya. Aku berpatroli bersama sebuah grup sebanyak sepuluh personil. Derap langkah kuda-kuda kami menerbangkan debu yang dingin dan berat oleh embun. Kami berkeliling di sekitar daerah itu, dan mengamankannya dari intaian dan serangan musuh.
Beberapa ratus meter jaraknya di depan kami, terlihat sebuah rombongan sedang melintas. George, sang Komandan grup patroli, tersenyum dan memerintahkan kami untuk memacu kuda menghadang kafilah itu. Begitu banyak ketidakmengertian lagi-lagi menyeruak di kepalaku.
Sebelum kami memacu kuda kami untuk mencegat rombongan itu, aku arahkan kudaku ke hadapan George.
“Apa yang akan kita lakukan, Komandan?”, tanyaku dengan gusar. “Kita terikat perjanjian dengan Saladin..!”
“Tugas suci kita, tentu saja!”, sahutnya sambil tersenyum padaku, seakan tidak terjadi apa2. “Sekarang pergi hadang mereka, itu perintah.!”.
Kami menghadang kafilah itu. Mereka terdiri dari wanita, dan orang tua yang kebanyakan dari mereka berpakaian putih-putih. Jumlah mereka sekitar lima puluh orang, dan tak berdaya.
“Berhenti!!”, raung salah seorang prajurit. George mencabut pedangnya dan mengacungkannya ke arah kafilah itu dari atas kudanya. Seluruh kawan-kawanku mengepung kafilah itu dan mencabut pedang mereka. “Serahkan apapun yang berharga yang kalian punya, lemparkan ke sana.”.
Ketakutan menjalar di dalam hati mereka. Walau mereka lebih banyak dari kami, tetap saja mereka tidak sebanding dengan kami karena kami bersenjata. Rombongan itu setahuku adalah rombongan ibadah yang sedang berangkat ke tanah suci orang-orang Saracen di Jazirah, dan sering mengambil rute ini dalam perjalanan mereka.
“Kami hanya rombongan haji.!”, kata seorang  pemuda di antara mereka yang kurasa adalah pemimpin rombongan itu. Seorang perempuan berkerudung hitam dan sangat cantik merapat ketakutan di punggung pemuda itu. “Kami tidak bersenjata dan tidak bawa banyak barang berharga!”.
“Kalau bicara lagi kutebas lehermu!!”, George mengancam. Dirapatkannya ujung pedangnya yang tajam ke leher pria itu dari atas kudanya. “Lakukan!!!”.
“Kalian terikat perjanjian dengan sultan Shalahuddin.!!”, tukas pria itu.
“Cepat lakukan!!”, ujung pedang George menggores leher pria itu.
Para penodong yang celakanya adalah teman-temanku itu makin rapat mengepung rombongan dan mengancam setiap orang dengan senjata mereka.
“Kami turuti keinginanmu, tapi setelah itu biarkan kami pergi!”, mereka semua mengumpulkan keping emas dan perak yang mereka punya, kawan-kawanku tersenyum sinis melihatnya.
Tiba-tiba datanglah beberapa orang berkuda dari arah benteng. Mereka adalah Reynald de Chatillon dan dua orang pengawalnya. Demi melihat Reynald de Chatillon yang sangar itu kurasakan ketakutan makin merasuk ke dalam hati rombongan orang-orang Saracen. Dia berhenti di hadapan kami.
“Ada apa ini??”, dengan berteriak Reynald de Chatillon mengacungkan telunjuknya kepada kami.
“Kami sedang memungut pajak jalan, Yang Mulia!!”, sahut George.
Seperti orang gila, Reynald de Chatillon tertawa terbahak-bahak tak tentu sebab. Kudanya berjalan, dia mendekati George lantas menepuk-nepuk bahunya.
Aku memacu kudaku bergegas mendekati Reynald de Chatillon. “Maaf Yang Mulia, kita terikat perjanjian dengan Saladin tentang semua ini!”.
“Tuhan telah memberi kita hak suci untuk mengambil segala yang mereka punya.”, kata Reynald de Chatillon terkekeh. “Ya, segalanya! Maka persetan dengan segala perjanjian!”.
Reynald de Chatillon tertawa terbahak-bahak keras sekali kemudian pergi begitu saja bersama dua orang pengawalnya. Kami semua tertawa, kecuali aku.
“Phillipe…!!”, teriak George. “Bawa uang itu.”.
Aku langsung turun dari kuda dan melaksanakan perintahnya. Kumasukkan keping emas dan perak itu ke dalam sebuah kantong kulit dan cepat-cepat menyingkir. George turun dari kudanya. Pedangnya masih teracung ke leher pemuda itu, si perempuan ketakutan di belakangnya. Tak kusangka, George menarik perempuan itu ke arahnya.
“Jaanggaaaannn!!!!”, teriak Pria Pemimpin rombongan Saracen itu. Perempuan itu menjerit. Pria itu hendak membela si perempuan namun George menusukkan pedangnya ke perut pria itu dan mencabutnya lagi. Darah terpancar ke tanah, pemuda itu tersungkur. George menyeret perempuan itu, dan merobek pakaiannya dengan pedang lantas memperkosanya di hadapan semua orang. Perempuan itu menjerit, meratap, menangis tak berdaya kepada Tuhannya. [bersambung..]

No comments

Powered by Blogger.